BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dimulainya
pasar bebas ASEAN dimana banyak tenaga professional keluar dan masuk ke dalam
negeri. Setelah tahun 2000, dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era
globalisasi, pada tahun 2003 era Pada masa itu mulai terjadi suatu masa
transisi/pergeseran pola kehidupan masyarakat dimana pola kehidupan masyarakat
tradisional berubah menjadi masyarakat yang maju. Keadaan itu menyebabkan
berbagai macam dampak pada aspek kehidupan masyarakat khususnya aspek kesehatan
baik yang berupa masalah urbanisaasi, pencemaran, kecelakaan, banyak tindakan
kekerasan, kenakalan remaja, penyalahgunaan NAPZA, tauran, penggangguran,
tindak penyaluran agresifitas atau anarkis, putus sekolah, PHK, disamping
meningkatnya angka kejadian penyakit klasik yang berhubungan dengan infeksi,
kurang gizi, dan kurangnya pemukiman sehat bagi penduduk. Pergeseran pola nilai
dalam keluarga dan umur harapan hidup yang meningkat juga menimbulkan masalah
kesehatan yang berkaitan dengan kelompok lanjut usia serta penyakit
degeneratif. Dengan banyaknya masalah-masalah yang ada dalam keperawatan jiwa
yang kini kita hadapi, maka kita perlu mengkaji ulang faktor yang mempengaruhi
masalah-masalah keperawatan jiwa
Telah
terbukti bahwa upaya pencegahan jauh lebih baik daripada upaya pengobatan.
Untuk itu masyarakat luas perlu diberikan informasi tentang kesehatan jiwa
beserta permasalahan, pencegahan dan penanganannya. Upaya pelayanan kesehatan
jiwa terhadap masyarakat pada saat ini tidak mungkin dilaksanakan oleh petugas
kesehatan saja, tetapi perlu peran serta seluruh masyarakat dan keluarga klien
untuk memfasilitasi peran aktif dari kader kesehatan dalam upaya kesehatan jiwa
1.2 RUMUSAN MASALAH
Apa
Trend dan Isu Keperawatan JIwa ?
Apa
saja Penelitian tentang Keperawatan Jiwa ?
Apa
komentar tentang Keperawatan Jiwa ?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Untuk
memenuhi tugas IKD III
Untuk
mengetahui apa saja trend dan isu keperawatan jiwa
Untuk
mengetahui penelitian tentang keperawatan jiwa
BAB
II
PEMBAHASAN
1.2 TREND DAN
ISSUE KEPERAWATAN JIWA
Trend atau current
issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang sedang hangat
dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap
ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik
dalam tatanan regional maupun global. Ada beberapa tren penting yang menjadi
perhatian dalam keperawatan jiwa di antaranya adalah sebagai berikut:
1)
Kesehatan
jiwa dimulai masa konsepsi
2)
Trend
peningkatan masalah kesehatan jiwa
3)
Kecenderungan
dalam penyebab gangguan jiwa
4)
Kecenderungan
situasi di era global
5)
Globalisasi
dan perubahan orientasi sehat
6)
Kecenderungan
penyakit jiwa
7)
Meningkatnya
post traumatik sindrom
8)
Meningkatnya
masalah psikososial
9)
Trend bunuh diri pada anak
10) Masalah
AIDS dan NAPZA
11) Pattern of
parenting
12) Perspektif
life span history
13) Kekerasan
14) Masalah
ekonomi dan kemiskinan
1.2.1 Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Dahulu bila berbicara
masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat onset terjadinya sampai klien
mengalami gejala-gejala. Di Indonesia banyak gangguan jiwa terjadi mulai pada
usia 19 tahun dan kita jarang sekali melihat fenomena masalah sebelum anak
lahir. Perkembangan terkini menyimpulkan bahwa berbicara masalah kesehatan jiwa
harus dimulai dari masa konsepsi malahan harus dimulai dari masa
pranikah.banyak penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam
kandungan dengan kesehatan fisik dan mental seseorang di masa yang akan datang.
Penelitian-penelitian berikut membuktikan bahwa kesehatan mental seseorang
dimulai pada masa konsepsi.
Van de carr (1979)
menemukan bahwa seorang pemusik yang hebat terlahir dari seorang ayah yang
menggeluti musik, pola-polanya sudah dipelajari sejak dalam kandungan pada saat
bayi belum lahir yang sudah terbiasa terpapar oleh suara-suara komposisi lagu
yang teratur.Marc Lehrer, seorang ahli dari university of California menemukan
bahwa dari 3000 bayi yang diteliti serta diberikan stimulasi dini berupa suara,
musik, cahaya, getaran dan sentuhan, ternyata setelah dewasa memiliki
perkembangan fisik, mental dan emosi yang lebih baik. Kemudian Craig Ramey,
meneliti bahwa stimulasi dini, bonding and attachment pada bayi baru lahir dapat
meningkatkan inteligensi bayi antara 15-30%.
Marion cleves meneliti
tentang tikus-tikus yang hamil. Beberapa tikus hamil yang diberikan stimulasi
aliran listrik rendah, cahaya, suara dan jebakan-jebakan menunjukkan banyaknya
percabangan dendrite sebagai prasyarat kecerdasan. Setelah dibandingkan dengan
kelompok control ternyata menunjukkan perbedaan yang signifikan. Demikian juga
penelitian-penelitian yang dilakukan di hospital Bangkok Thailand, pada
bayi-bayi yang mendapat prenatal care yang baik dan stimulasi sejak dalam
kandungan. Ternyata bayi tersebut mampu berbicara, berkomunikasi, menirukan
suara, menyebut kata pertama dan senyum. Hal ini didukung oleh penemuan beatriz
manrique (presiden the Venezuela ministry for the development of intelligence)
dalam penelitian pada 600 bayi, ternyata stimulasi sejak dalam kandungan dapat
menigkatkan kemampuan adaptasi, attachment, dan bahasa.
Demikian
juga dengan kaitan antara masa kehamilan dengan skizofrenia. Skizofrenia sering
dianggap sebagai penyakit kronis dan tidak dapat disembuhkan. Anggapan tersebut
keliru, karena dengan pengobatan yang baik banyak penderita yang dapat kembali
ke masyarakat dan berfungsi optimal. Salah satu kendala dalam mengobati
skizofrenia optimal adalah keterlambatan penderita datang ke klinik pengobatan.
Timbul pertanyaan, mungkinkah penyakit ini dideteksi sedini mungkin dan dicegah
perkembangannya? Tahun 1988, Mednick dkk dalam penelitian epidemiologi
melaporkan penemuan yang menarik, yaitu hubungan antara skizofrenia dengan
infeksi virus dalam kandungan. Laporannya didasarkan atasepidemi virus
influenza pada tahun 1957 di kota Helsinki.epidemi ini sangat spesial mengingat
pertama, terjadinya dalam kurun waktu yang pendek, dimulai pada tanggal 8
oktober dan berakhir 5 minggu kemudian 14 November. Kedua, epidemi ini sangat
menyebar. Hampir dua pertiga penduduk kota ini terkena infeksi dalam berbagai
tingkatan. Kondisi ini memungkinkan dilakukannya evaluasi efek jangka panjang.
Mednick membuktikan
bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada pada trimester dua dalam
kandungan mempunyai resiko yang leih tinggi untuk menderita skizofrenia di
kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan bahwa lingkungan luar yang
terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan dapat meningkatkan risiko
menderita skizofrenia.Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan
neurokognitif, yang menyebutkan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi
kelainan perkembangan neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa kelainan
neurokognitif seperti berkurnagnya kemampuan dalam mempertahankan perhatian,
membedakan suara rangsang yang berurutan, working memory, dan fungsi-fungsi
eksekusi sering dijumpai pada penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan
neurokognitif di atas didapat sejak dalam kandungan dan dalam kehidupan
selanjutnya diperberat oleh lingkungan, misalnya, tekanan berat dalam
kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau terpengaruh zat-zat yang
mempengaruhi fungsi otak seperti narkoba. Kelainan neurokognitif yang telah
berkembang ini menjadi dasar dari gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi,
kekacauan proses pikir, waham/delusi, perilaku yang aneh dan gangguan emosi.
1.2.2 Trend peningkatan
masalah kesehatan jiwa
Masalah
jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh jumlah penderita sakit
jiwa di propinsi lain dan daerah istimewa Yogyakarta terus meningkat. Penderita tidak lagi
didominasi masyarakat kelas bawah. Kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah
ke atas, juga tersentuh gangguan psikotik dan depresif.
Kecenderungan itu
tampak dari banyaknya pasien yang menjalani rawat inap maupun rawat jalan di RS
Grhasia Yogyakarta dan RS Sardjito Yogyakarta. Pada dua rumah sait tersebut
klien gangguan jiwa terus bertambah sejak tahun 2002 lalu. Pada tahun 2003 saja
jumlahnya mencapai 7.000 orang, sedang pada 2004 naik menjadi 10.610 orang.
Sebagian dari klien menjalani rawat jalan, dank lien yang menjalani rawat inap
mencapai 678 orang pada 2003 dan meningkat menjadi 1.314 orang pada tahun 2004.
yang menarik, klien gangguan jiwa sekarang tidak lagi didominasi kalangan
bawah, tetapi kalangan mahasiswa, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, dan
kalangan professional juga ada diantaranya. Klien gangguan jiwa dari kalangan
menengah ke atas, sebagian besar disebabkan tidak mampu mengelola stress dan
ada juga kasus mereka yang mengalami post power syndrome akibat dipecat
atau mutasi jabatan.
Kepala staf medik
fungsional jiwa RS Sardjito Yogyakarta, Prof.Dr. Suwadi mengatakan, pada tahun
2003 jumlah klien gangguan jiwa yang dirawat inap sebanyak 371 pasien. Tahun
2004 jumlahnya meningkat menjadi 433 pasien. Jumlah itu, belum termasuk klien
rawat jalan di poliklinik yang sehari-hari rata-rata 25 pasien. Demikian juga di
propinsi Sumatera Selatan, gangguan kejiwaan dua tahun terakhir ini menunjukkan
kecenderungan peningkatan. Beban hidup yang semakin berat, diperkirakan menjadi
salah satu penyebab bertambahnya klien gangguan jiwa. Kepala Rumah Sakit Jiwa
(RSJ) daerah Propinsi Sumatera Selatan mengungkapkan: setahun ini jumlah klien
gangguan jiwa yang ditangani di RSJ mengalami peningkatan 10-15% dibandingan
dengan tahun sebelumnya. Kecenderungannya, kasus-kasus psikotik tetap tinggi,
disusul kasus neurosis yang cenderung meningkat, rekam medis di RSJ Sumsel
mencatat, jumlah klien yang dirawat meningkat dari jumlah 4.101 orang (2003)
menjadi 4.384 orang (2004). Dari keseluruhan jumlah klien yang dirawat selama
2004, sebanyak 1.872 pasien diantaranya dirawat inap di RSJ itu. Sebanyak 1.220
orang adalah sebagai pasien lama ang sebelumnya pernah dirawat. Kondisi
lingkungan yang semakin keras, dapat menjadi penyebab meningkatnya jumlah
masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan. Apalagi untuk individu yang rentan
terhadap kondisi lingkungan dengan timgkat kemiskinan terlalu
menekan.Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan
dokter di RSJ menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial
maupun usia. Ada orang kaya yang mengalami tekanan hebat,
setelah kehilangan semua harta bendanya akibat kebakaran. Selain itu kasus
neurosis pada anak dan remaja, juga menunjukkan kecenderungan meningkat.
Neurosis adalah bentuk gangguan kejiwaan yang mengakibatkan penderitanya
mengalami stress, kecemasan yang berlebihan, gangguan tidur, dan keluhan
penyakit fisik yang tidak jelas penyebabnya. Neurosis menyebabkan merosotnya
kinerja individu. Mereka yang sebelumnya rajin bekerja, rajin belajar menjadi
lesu, dan sifatnya menjadi emosional. Melihat kecenderungan penyakit jiwa pada
anak dan remaja kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan nonfisik. Trauma
nonfisik bisa berbentuk musibah, kehilangan orang tua, atau masalah
keluarga.Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik. Klien
yang menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang
yang kerap mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan
dirinya dan orang lain, seperti mengamuk.
1.2.3Kecenderungan faktor
penyebab gangguan jiwa
Terjadinya
perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan salah satu
pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan jiwa
pada manusia. Menurut
data World Health Organization (WHO),
masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah
yang sangat serius. WHO (2001) menyataan, paling tidak, ada satu dari empat
orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta
orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Sementara itu, menurut
Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO wilayah Asia Tenggara, hamper satu per tiga
dari penduduk di wilayah ini pernah mengalami gangguan neuropsikiatri.
Buktinya, bisa kita cocokkan dan lihat sendiri dari data Survei Kesehatan Rumah
Tangga ( SKRT); tahun 1995 saja, di Indonesia diperkirakan sebanyak 264 dari
1.000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa.
Dalam hal ini, Azrul
Azwar (Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat DepKes) mengatakan, angka itu
menunjukkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat yang sangat
tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari
rasa cemas, depresi, stress, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja samapai
skizofrenia.Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan
kesehatan jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta
orang yang mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya
meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika
dibandingkan dengan upaya bunuh diri dari para penderita
kejiwaan yang mencapai
20 juta jiwa setiap tahunnya.
Adanya gangguan
kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak hal. Namun, menurut Aris
Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa (psikiatri) Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab gangguan jiwa ini.
Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic. Penyebabnya antara lain berasal
dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis,
malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-lain. Kedua,
gangguan mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah dalam pola
pengasuhan (pattern of parenting)
hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustasi,
konflik, dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau lingkungan.
Penyebabnya dapat berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orangtua,
hubungan antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam
masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik,
dan lain-lain).
1.2.4 Kecenderungan
situasi di era globalisasi
Era
globalisasi adalah suatu era dimana tidak ada lagi pembatas antara
negara-negara khususnya di bidang informasi, ekonomi, dan politik. Perkembangan
IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas yang merupakan ciri era ini,
berdampak pada semua sector termasuk sektor kesehatan
2.2 PENELITIAN
KEPERAWATAN JIWA
2.2.1 JUDUL
HUBUNGAN
PENGETAHUAN KELUARGA
DENGAN TINGKAT
KECEMASAN DALAM MENGHADAPI
ANGGOTA KELUARGA
YANG MENGALAMI
GANGGUAN JIWA DI
RUMAH SAKIT JIWA
PROPINSI SUMATERA
UTARA, MEDAN.
2.2.2
ABSTRAK
Gangguan jiwa merupakan suatu
penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah
laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang
lain, masyarakat dan lingkungan. Keluarga yang salah satu anggota keluarganya
mengalami gangguan jiwa perlu mempunyai pengetahuan tentang
gangguan jiwa. Oleh karena keluarga sering
merasakan kecemasan dalam menghadapi anggota keluarganya yang menderita
gangguan jiwa. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan
pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa dengan menggunakan desain deskriptif korelasional.
Instrumen dibuat dalam bentuk kuesioner dan dibagi dalam 2 bagian yaitu
kuesioner untuk mengukur pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa dan
kuesioner untuk mengukur tingkat kecemasan keluarga. Jumlah sampel yang
diteliti sebanyak 32 keluarga dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Berdasarkan analisis statistik korelasi Spearman diperoleh nilai koefisien
korelasi (ρ)= - 0.460 dan nilai signifikan (p) = 0.008 untuk hubungan
pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa, 0.460 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
sedang dan tanda negatif menunjukkan
ketidaksearahan, ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengetahuan maka tingkat
kecemasan semakin ringan. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan
dengan tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa dengan p = 0.008 karena terletak di bawah dari 0.01.
Dapat disimpulkan bahwa perlu adanya peningkatan dan pengembangan asuhan
keperawatan dalam pemberian pendidikan kesehatan khususnya dalam keperawatan
jiwa dan keperawatan komunitas.
2.2.3 Pembahasan
Pengetahuan
keluarga mengenai gangguan jiwa
Berdasarkan
jawaban 32 keluarga inti yang menjadi responden didapatkan bahwa 19 responden
(59,4%) memiliki pengetahuan yang baik dan 13 responden (40,16%) memiliki
pengetahuan sedang mengenai gangguan jiwa ini menunjukkan bahwa seluruh
keluarga yang anggota keluarganya rawat jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa
Propinsi Sumatera Utara Medan sudah memiliki pengetahuan yang hampir baik dan
tidak ada yang memiliki pengetahuan buruk mengenai gangguan jiwa. Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan
maupun diperoleh dari media informasi lainnya telah cukup efektif.
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan
awal usahandalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya.
Keluarga selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota
keluarganya, juga dapat menjadi sumber masalah bagi anggota keluarga yang
mengalami ketidakstabilan mental sebagai akibat minimnya pengetahuan mengenai
persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
Berdasarkan penelitian Pearson (1993) di Cina, didapatkan
hasil bahwa dari 150 koresponden anggota keluarga yang salah satu anggota
keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, keluarga yang memiliki pengetahuan
yang baik sebanyak 78.3% dan selebihnya 21.7% koresponden tidak peduli akan
kondisi keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Setelah dibandingkan antara
kondisi anggota keluarga yang berpengetahuan baik dan yang tidak memiliki
pengetahuan baik/tidak peduli diketahui bagaimana perawatan terhadap anggota
keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, di mana kondisi keluarga yang berpengetahuan
baik lebih terjaga dibandingkan pada keluarga yang tidak memiliki pengetahuan
yang baik. Sehingga sangat diperlukan bagi keluarga untuk memiliki pengetahuan
yang baik dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Tingkat
kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa
Berdasarkan jawaban 32 keluarga inti yang menjadi responden
didapatkan
bahwa
15 responden (46,9%) memiliki tingkat kecemasan yang ringan dalam menghadapi
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, kemudian 15 responden (46,9%)
memiliki tingkat kecemasan sedang dan 2 responden (6,2%) memiliki tingkat
kecemasan yang berat.
Kecemasan dapat dirasakan oleh individu ataupun sekelompok
orang termasuk keluarga, kecemasan meliputi keluarga dan mereka sangat
terbebani dengan kondisi penderita. Bahkan tidak sedikit keluarga yang sama
sekali tidak mengetahui rencana apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi
masalah gangguan jiwa salah satu anggota keluarganya. Kecemasan akan semakin
meningkat tanpa pemahaman yang jernih mengenai masalah besar yang dihadapi
keluarga. Terkadang masalah ini tidak dapat dihadapi dan semakin membuat
konflik di dalam keluarga sehingga sering terjadi penolakan terhadap penderita
gangguan jiwa (Brown & Bradley, 2002).
Dalam jurnal National Institue of Mental Health,
Samuel Keith (1970) mengadakan penelitian mengenai pengalaman yang
dirasakan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa. Keluarga lebih banyak merasakan kecemasan (58.6%) dibandingkan
keadaan keluarga yang marah (12.7%) bahkan ada yang menolak (28.7%) keadaan
anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Kecemasan dan berbagai
pengalaman lainnya yang dirasakan oleh keluarga merupakan hal yang wajar dalam
menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Hubungan
pengetahuan dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa
Berdasarkan
analisis diperoleh nilai
koefisien
korelasi (ρ) = - 0.460 dan nilai signifikan p = 0.008 untuk hubungan
pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa, 0.460 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
sedang dan tanda negatif menunjukkan ketidaksearahan, dalam arti bahwa semakin tinggi
pengetahuan maka tingkat kecemasan semakin ringan. Terdapat hubungan yang
signifikan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga dalam
menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan p = 0.008 di
bawah dari 0.01 (Devore, 1986).
Berdasarkan penelitian dari badan National Mental Health
Association/NMHA (2001), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun
kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa
seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh kembali. Namun
faktanya, NMHA mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat
sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya (Foster, 2001). Tanpa
adanya pemahaman yang jernih mengenai masalah gangguan jiwa yang dihadapi keluarga
akan dapat menimbulkan kecemasan dan hal ini didukung oleh adanya penelitian
yang dilakukan oleh Brown & Bradley (2002) pada keluarga yang memiliki
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dan didapatkan bahwa kecemasan
keluarga akan semakin meningkat tanpa pengetahuan yang baik mengenai masalah
gangguan jiwa yang dihadapi keluarga
2.3 KOMENTAR TENTANG PENELITIAN
Menurut saya sangat
bagus tentang penelitian keperawatan jiwa yang di teliti oleh saudara arahman
dari universitas islam dari Makassar saya dapat dia meneliti tentang Penelitian
yang dilakukan terhadap 32 keluarga inti yang menjadi responden, yang salah
satu anggota keluarganya berobat jalan di Poliklinik Rumah SakitnJiwa Propinsi
Sumatera Utara Medan menggambarkan bahwa 59.4% responden memiliki pengetahuan
yang baik mengenai gangguan jiwa, 40.6% responden memiliki pengetahuan yang
sedang mengenai gangguan jiwa, 46.9% responden yang memiliki tingkat kecemasan
ringan, 46.9% responden memiliki tingkat kecemasan yang sedang. Sementara itu
46,2% responden memiliki tingkat kecemasan yang berat dalam menghadapi anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan analisis statistik dengan
menggunakan formula korelasi Spearman diperoleh koefisien korelasi (ρ) = -
0.460 dan nilai signifikan p = 0.008 untuk hubungan pengetahuan dengan tingkat
kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa, 0.460 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sedang dan tanda negative
menunjukkan ketidaksearahan, dalam arti bahwa semakin tinggi pengetahuan maka
tingkat kecemasan semakin ringan.
Jadi saya dapat menyimpulkan bahwa hubungan pengetahuan keluarga
dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa memiliki hubungan yang sedang dan signifikan.
Jadi dalam
praktik keperawatan Dalam melaksanakan asuhan keperawatan
kepada anggota keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan
jiwa, hendaknya perawat memperhatikan masalah pengetahuan keluarga dalam
merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa dengan memberikan
pendidikan kesehatan yang dapat dimengerti oleh keluarga, Perawat juga
diharapkan perlu mengkaji secara komprehensif faktor–faktor dominan yang
mendukung timbulnya kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa
Dari segi pendidikan keperawatan diharapkan adanya
peningkatan dan pengembangan asuhan keperawatan dalam pemberian pendidikan
kesehatan khususnya dalam Keperawatan Jiwa dan Keperawatan Komunitas
Dari segi penelitian keperawatan saya
harapkan untuk
penelitian selanjutnya diperoleh nilai reliabilitas instrumen yang tinggi.
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Dapat di simpulkan bahwa dalam
keperawatan jiwa terdapat trend dan issue keperawatan jiwa yang semakin
berkembang di masyarakat maka seperti penyakit HIV,NAPZA,dan masalah ekonomi
dan rumah tangga dan di sinilah tugas perawat mencegah terjadinya seperti bunuh
diri,stress,maka perawat perlu member pendidikan kesehatan dan pengarahan lainnya.
3.2 SARAN
Seluruh
perawat agar meningkatkan pemahamannya terhadap berbagai trend dan isu
keperawatan jiwa di Indonesia sehingga dapat dikembeangkan dalam tatanan
layanan keperawatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Yosep Iyus, S.Kp, M.Si. 2009. Keperawatan Jiwa,Edisi Revisi.Bandung.
PT. Refika Aditama.
Effendy.
(1998). Dasar-Dasar
Keperawatan Kesehatan Masyarakat. (edisi 2).Jakarta: EGC.
Friedman.
(1998). Keperawatan
Keluarga,Teori dan Praktek Edisi 3. Jakarta: EGC.
Frisch
& Frisch. (2002). Psychiatric
Mental Health Nursing. (2nd ed). New York:n Thomson
Learning, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar