Minggu, 07 Juni 2015

makalah keperawatan jiwa

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   LATAR BELAKANG

Dimulainya pasar bebas ASEAN dimana banyak tenaga professional keluar dan masuk ke dalam negeri. Setelah tahun 2000, dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era globalisasi, pada tahun 2003 era Pada masa itu mulai terjadi suatu masa transisi/pergeseran pola kehidupan masyarakat dimana pola kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi masyarakat yang maju. Keadaan itu menyebabkan berbagai macam dampak pada aspek kehidupan masyarakat khususnya aspek kesehatan baik yang berupa masalah urbanisaasi, pencemaran, kecelakaan, banyak tindakan kekerasan, kenakalan remaja, penyalahgunaan NAPZA, tauran, penggangguran, tindak penyaluran agresifitas atau anarkis, putus sekolah, PHK, disamping meningkatnya angka kejadian penyakit klasik yang berhubungan dengan infeksi, kurang gizi, dan kurangnya pemukiman sehat bagi penduduk. Pergeseran pola nilai dalam keluarga dan umur harapan hidup yang meningkat juga menimbulkan masalah kesehatan yang berkaitan dengan kelompok lanjut usia serta penyakit degeneratif. Dengan banyaknya masalah-masalah yang ada dalam keperawatan jiwa yang kini kita hadapi, maka kita perlu mengkaji ulang faktor yang mempengaruhi masalah-masalah keperawatan jiwa
Telah terbukti bahwa upaya pencegahan jauh lebih baik daripada upaya pengobatan. Untuk itu masyarakat luas perlu diberikan informasi tentang kesehatan jiwa beserta permasalahan, pencegahan dan penanganannya. Upaya pelayanan kesehatan jiwa terhadap masyarakat pada saat ini tidak mungkin dilaksanakan oleh petugas kesehatan saja, tetapi perlu peran serta seluruh masyarakat dan keluarga klien untuk memfasilitasi peran aktif dari kader kesehatan dalam upaya kesehatan jiwa

1.2  RUMUSAN MASALAH
Apa Trend dan Isu Keperawatan JIwa ?
Apa saja Penelitian tentang Keperawatan Jiwa ?
Apa komentar tentang Keperawatan Jiwa ?

1.3  TUJUAN PENULISAN
Untuk memenuhi tugas IKD III
Untuk mengetahui apa saja trend dan isu keperawatan jiwa
Untuk mengetahui penelitian tentang keperawatan jiwa

BAB II
PEMBAHASAN

1.2 TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN JIWA

Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang sedang hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional maupun global. Ada beberapa tren penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa di antaranya adalah sebagai berikut:
      1)      Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
      2)      Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa
      3)      Kecenderungan dalam penyebab gangguan jiwa
      4)      Kecenderungan situasi di era global
      5)      Globalisasi dan perubahan orientasi sehat
      6)      Kecenderungan penyakit jiwa
      7)      Meningkatnya post traumatik sindrom
      8)      Meningkatnya masalah psikososial
      9)      Trend bunuh diri pada anak
      10)  Masalah AIDS dan NAPZA
11)  Pattern of parenting
      12)  Perspektif life span history
      13)  Kekerasan
      14)  Masalah ekonomi dan kemiskinan  
     1.2.1 Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat onset terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di Indonesia banyak gangguan jiwa terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang sekali melihat fenomena masalah sebelum anak lahir. Perkembangan terkini menyimpulkan bahwa berbicara masalah kesehatan jiwa harus dimulai dari masa konsepsi malahan harus dimulai dari masa pranikah.banyak penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam kandungan dengan kesehatan fisik dan mental seseorang di masa yang akan datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan bahwa kesehatan mental seseorang dimulai pada masa konsepsi.
Van de carr (1979) menemukan bahwa seorang pemusik yang hebat terlahir dari seorang ayah yang menggeluti musik, pola-polanya sudah dipelajari sejak dalam kandungan pada saat bayi belum lahir yang sudah terbiasa terpapar oleh suara-suara komposisi lagu yang teratur.Marc Lehrer, seorang ahli dari university of California menemukan bahwa dari 3000 bayi yang diteliti serta diberikan stimulasi dini berupa suara, musik, cahaya, getaran dan sentuhan, ternyata setelah dewasa memiliki perkembangan fisik, mental dan emosi yang lebih baik. Kemudian Craig Ramey, meneliti bahwa stimulasi dini, bonding and attachment pada bayi baru lahir dapat meningkatkan inteligensi bayi antara 15-30%.
Marion cleves meneliti tentang tikus-tikus yang hamil. Beberapa tikus hamil yang diberikan stimulasi aliran listrik rendah, cahaya, suara dan jebakan-jebakan menunjukkan banyaknya percabangan dendrite sebagai prasyarat kecerdasan. Setelah dibandingkan dengan kelompok control ternyata menunjukkan perbedaan yang signifikan. Demikian juga penelitian-penelitian yang dilakukan di hospital Bangkok Thailand, pada bayi-bayi yang mendapat prenatal care yang baik dan stimulasi sejak dalam kandungan. Ternyata bayi tersebut mampu berbicara, berkomunikasi, menirukan suara, menyebut kata pertama dan senyum. Hal ini didukung oleh penemuan beatriz manrique (presiden the Venezuela ministry for the development of intelligence) dalam penelitian pada 600 bayi, ternyata stimulasi sejak dalam kandungan dapat menigkatkan kemampuan adaptasi, attachment, dan bahasa.
Demikian juga dengan kaitan antara masa kehamilan dengan skizofrenia. Skizofrenia sering dianggap sebagai penyakit kronis dan tidak dapat disembuhkan. Anggapan tersebut keliru, karena dengan pengobatan yang baik banyak penderita yang dapat kembali ke masyarakat dan berfungsi optimal. Salah satu kendala dalam mengobati skizofrenia optimal adalah keterlambatan penderita datang ke klinik pengobatan. Timbul pertanyaan, mungkinkah penyakit ini dideteksi sedini mungkin dan dicegah perkembangannya? Tahun 1988, Mednick dkk dalam penelitian epidemiologi melaporkan penemuan yang menarik, yaitu hubungan antara skizofrenia dengan infeksi virus dalam kandungan. Laporannya didasarkan atasepidemi virus influenza pada tahun 1957 di kota Helsinki.epidemi ini sangat spesial mengingat pertama, terjadinya dalam kurun waktu yang pendek, dimulai pada tanggal 8 oktober dan berakhir 5 minggu kemudian 14 November. Kedua, epidemi ini sangat menyebar. Hampir dua pertiga penduduk kota ini terkena infeksi dalam berbagai tingkatan. Kondisi ini memungkinkan dilakukannya evaluasi efek jangka panjang.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada pada trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang leih tinggi untuk menderita skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan bahwa lingkungan luar yang terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan dapat meningkatkan risiko menderita skizofrenia.Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan neurokognitif, yang menyebutkan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi kelainan perkembangan neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa kelainan neurokognitif seperti berkurnagnya kemampuan dalam mempertahankan perhatian, membedakan suara rangsang yang berurutan, working memory, dan fungsi-fungsi eksekusi sering dijumpai pada penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam kandungan dan dalam kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan, misalnya, tekanan berat dalam kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau terpengaruh zat-zat yang mempengaruhi fungsi otak seperti narkoba. Kelainan neurokognitif yang telah berkembang ini menjadi dasar dari gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi, kekacauan proses pikir, waham/delusi, perilaku yang aneh dan gangguan emosi.
1.2.2 Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa
Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh jumlah penderita sakit jiwa di propinsi lain dan daerah istimewa Yogyakarta terus meningkat. Penderita tidak lagi didominasi masyarakat kelas bawah. Kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas, juga tersentuh gangguan psikotik dan depresif.
Kecenderungan itu tampak dari banyaknya pasien yang menjalani rawat inap maupun rawat jalan di RS Grhasia Yogyakarta dan RS Sardjito Yogyakarta. Pada dua rumah sait tersebut klien gangguan jiwa terus bertambah sejak tahun 2002 lalu. Pada tahun 2003 saja jumlahnya mencapai 7.000 orang, sedang pada 2004 naik menjadi 10.610 orang. Sebagian dari klien menjalani rawat jalan, dank lien yang menjalani rawat inap mencapai 678 orang pada 2003 dan meningkat menjadi 1.314 orang pada tahun 2004. yang menarik, klien gangguan jiwa sekarang tidak lagi didominasi kalangan bawah, tetapi kalangan mahasiswa, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, dan kalangan professional juga ada diantaranya. Klien gangguan jiwa dari kalangan menengah ke atas, sebagian besar disebabkan tidak mampu mengelola stress dan ada juga kasus mereka yang mengalami post power syndrome akibat dipecat atau mutasi jabatan.
Kepala staf medik fungsional jiwa RS Sardjito Yogyakarta, Prof.Dr. Suwadi mengatakan, pada tahun 2003 jumlah klien gangguan jiwa yang dirawat inap sebanyak 371 pasien. Tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 433 pasien. Jumlah itu, belum termasuk klien rawat jalan di poliklinik yang sehari-hari rata-rata 25 pasien. Demikian juga di propinsi Sumatera Selatan, gangguan kejiwaan dua tahun terakhir ini menunjukkan kecenderungan peningkatan. Beban hidup yang semakin berat, diperkirakan menjadi salah satu penyebab bertambahnya klien gangguan jiwa. Kepala Rumah Sakit Jiwa (RSJ) daerah Propinsi Sumatera Selatan mengungkapkan: setahun ini jumlah klien gangguan jiwa yang ditangani di RSJ mengalami peningkatan 10-15% dibandingan dengan tahun sebelumnya. Kecenderungannya, kasus-kasus psikotik tetap tinggi, disusul kasus neurosis yang cenderung meningkat, rekam medis di RSJ Sumsel mencatat, jumlah klien yang dirawat meningkat dari jumlah 4.101 orang (2003) menjadi 4.384 orang (2004). Dari keseluruhan jumlah klien yang dirawat selama 2004, sebanyak 1.872 pasien diantaranya dirawat inap di RSJ itu. Sebanyak 1.220 orang adalah sebagai pasien lama ang sebelumnya pernah dirawat. Kondisi lingkungan yang semakin keras, dapat menjadi penyebab meningkatnya jumlah masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan. Apalagi untuk individu yang rentan terhadap kondisi lingkungan dengan timgkat kemiskinan terlalu menekan.Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan dokter di RSJ menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial maupun usia. Ada orang kaya yang mengalami tekanan hebat, setelah kehilangan semua harta bendanya akibat kebakaran. Selain itu kasus neurosis pada anak dan remaja, juga menunjukkan kecenderungan meningkat. Neurosis adalah bentuk gangguan kejiwaan yang mengakibatkan penderitanya mengalami stress, kecemasan yang berlebihan, gangguan tidur, dan keluhan penyakit fisik yang tidak jelas penyebabnya. Neurosis menyebabkan merosotnya kinerja individu. Mereka yang sebelumnya rajin bekerja, rajin belajar menjadi lesu, dan sifatnya menjadi emosional. Melihat kecenderungan penyakit jiwa pada anak dan remaja kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan nonfisik. Trauma nonfisik bisa berbentuk musibah, kehilangan orang tua, atau masalah keluarga.Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik. Klien yang menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang yang kerap mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya dan orang lain, seperti mengamuk.


1.2.3Kecenderungan faktor penyebab gangguan jiwa
Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan salah satu pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001) menyataan, paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Sementara itu, menurut Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO wilayah Asia Tenggara, hamper satu per tiga dari penduduk di wilayah ini pernah mengalami gangguan neuropsikiatri. Buktinya, bisa kita cocokkan dan lihat sendiri dari data Survei Kesehatan Rumah Tangga ( SKRT); tahun 1995 saja, di Indonesia diperkirakan sebanyak 264 dari 1.000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa.
Dalam hal ini, Azrul Azwar (Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat DepKes) mengatakan, angka itu menunjukkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat yang sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari rasa cemas, depresi, stress, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja samapai skizofrenia.Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri dari para penderita
kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya.
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak hal. Namun, menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa (psikiatri) Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic. Penyebabnya antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-lain. Kedua, gangguan mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah dalam pola pengasuhan (pattern of parenting) hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik, dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain).
1.2.4 Kecenderungan situasi di era globalisasi
Era globalisasi adalah suatu era dimana tidak ada lagi pembatas antara negara-negara khususnya di bidang informasi, ekonomi, dan politik. Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas yang merupakan ciri era ini, berdampak pada semua sector termasuk sektor kesehatan

2.2 PENELITIAN KEPERAWATAN JIWA
2.2.1 JUDUL
HUBUNGAN PENGETAHUAN KELUARGA
DENGAN TINGKAT KECEMASAN DALAM MENGHADAPI
ANGGOTA KELUARGA YANG MENGALAMI
GANGGUAN JIWA DI RUMAH SAKIT JIWA
PROPINSI SUMATERA UTARA, MEDAN.

2.2.2 ABSTRAK
Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungan. Keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa perlu mempunyai pengetahuan tentang
gangguan jiwa. Oleh karena keluarga sering merasakan kecemasan dalam menghadapi anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan menggunakan desain deskriptif korelasional. Instrumen dibuat dalam bentuk kuesioner dan dibagi dalam 2 bagian yaitu kuesioner untuk mengukur pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa dan kuesioner untuk mengukur tingkat kecemasan keluarga. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 32 keluarga dengan menggunakan teknik purposive sampling. Berdasarkan analisis statistik korelasi Spearman diperoleh nilai koefisien korelasi (ρ)= - 0.460 dan nilai signifikan (p) = 0.008 untuk hubungan pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, 0.460 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
sedang dan tanda negatif menunjukkan ketidaksearahan, ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengetahuan maka tingkat kecemasan semakin ringan. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan p = 0.008 karena terletak di bawah dari 0.01. Dapat disimpulkan bahwa perlu adanya peningkatan dan pengembangan asuhan keperawatan dalam pemberian pendidikan kesehatan khususnya dalam keperawatan jiwa dan keperawatan komunitas.
2.2.3 Pembahasan
Pengetahuan keluarga mengenai gangguan jiwa
Berdasarkan jawaban 32 keluarga inti yang menjadi responden didapatkan bahwa 19 responden (59,4%) memiliki pengetahuan yang baik dan 13 responden (40,16%) memiliki pengetahuan sedang mengenai gangguan jiwa ini menunjukkan bahwa seluruh keluarga yang anggota keluarganya rawat jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara Medan sudah memiliki pengetahuan yang hampir baik dan tidak ada yang memiliki pengetahuan buruk mengenai gangguan jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan maupun diperoleh dari media informasi lainnya telah cukup efektif.
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usahandalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya. Keluarga selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota keluarganya, juga dapat menjadi sumber masalah bagi anggota keluarga yang mengalami ketidakstabilan mental sebagai akibat minimnya pengetahuan mengenai persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
Berdasarkan penelitian Pearson (1993) di Cina, didapatkan hasil bahwa dari 150 koresponden anggota keluarga yang salah satu anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, keluarga yang memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 78.3% dan selebihnya 21.7% koresponden tidak peduli akan kondisi keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Setelah dibandingkan antara kondisi anggota keluarga yang berpengetahuan baik dan yang tidak memiliki pengetahuan baik/tidak peduli diketahui bagaimana perawatan terhadap anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, di mana kondisi keluarga yang berpengetahuan baik lebih terjaga dibandingkan pada keluarga yang tidak memiliki pengetahuan yang baik. Sehingga sangat diperlukan bagi keluarga untuk memiliki pengetahuan yang baik dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
Berdasarkan jawaban 32 keluarga inti yang menjadi responden didapatkan
bahwa 15 responden (46,9%) memiliki tingkat kecemasan yang ringan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, kemudian 15 responden (46,9%) memiliki tingkat kecemasan sedang dan 2 responden (6,2%) memiliki tingkat kecemasan yang berat.
Kecemasan dapat dirasakan oleh individu ataupun sekelompok orang termasuk keluarga, kecemasan meliputi keluarga dan mereka sangat terbebani dengan kondisi penderita. Bahkan tidak sedikit keluarga yang sama sekali tidak mengetahui rencana apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi masalah gangguan jiwa salah satu anggota keluarganya. Kecemasan akan semakin meningkat tanpa pemahaman yang jernih mengenai masalah besar yang dihadapi keluarga. Terkadang masalah ini tidak dapat dihadapi dan semakin membuat konflik di dalam keluarga sehingga sering terjadi penolakan terhadap penderita gangguan jiwa (Brown & Bradley, 2002).
Dalam jurnal National Institue of Mental Health, Samuel Keith (1970) mengadakan penelitian mengenai pengalaman yang dirasakan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Keluarga lebih banyak merasakan kecemasan (58.6%) dibandingkan keadaan keluarga yang marah (12.7%) bahkan ada yang menolak (28.7%) keadaan anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Kecemasan dan berbagai pengalaman lainnya yang dirasakan oleh keluarga merupakan hal yang wajar dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Hubungan pengetahuan dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
Berdasarkan analisis diperoleh nilai
koefisien korelasi (ρ) = - 0.460 dan nilai signifikan p = 0.008 untuk hubungan pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, 0.460 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sedang dan tanda negatif menunjukkan ketidaksearahan, dalam arti bahwa semakin tinggi pengetahuan maka tingkat kecemasan semakin ringan. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan p = 0.008 di bawah dari 0.01 (Devore, 1986).
Berdasarkan penelitian dari badan National Mental Health Association/NMHA (2001), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh kembali. Namun faktanya, NMHA mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya (Foster, 2001). Tanpa adanya pemahaman yang jernih mengenai masalah gangguan jiwa yang dihadapi keluarga akan dapat menimbulkan kecemasan dan hal ini didukung oleh adanya penelitian yang dilakukan oleh Brown & Bradley (2002) pada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dan didapatkan bahwa kecemasan keluarga akan semakin meningkat tanpa pengetahuan yang baik mengenai masalah gangguan jiwa yang dihadapi keluarga



























2.3 KOMENTAR TENTANG PENELITIAN

                Menurut saya sangat bagus tentang penelitian keperawatan jiwa yang di teliti oleh saudara arahman dari universitas islam dari Makassar saya dapat dia meneliti tentang Penelitian yang dilakukan terhadap 32 keluarga inti yang menjadi responden, yang salah satu anggota keluarganya berobat jalan di Poliklinik Rumah SakitnJiwa Propinsi Sumatera Utara Medan menggambarkan bahwa 59.4% responden memiliki pengetahuan yang baik mengenai gangguan jiwa, 40.6% responden memiliki pengetahuan yang sedang mengenai gangguan jiwa, 46.9% responden yang memiliki tingkat kecemasan ringan, 46.9% responden memiliki tingkat kecemasan yang sedang. Sementara itu 46,2% responden memiliki tingkat kecemasan yang berat dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan analisis statistik dengan menggunakan formula korelasi Spearman diperoleh koefisien korelasi (ρ) = - 0.460 dan nilai signifikan p = 0.008 untuk hubungan pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, 0.460 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sedang dan tanda negative menunjukkan ketidaksearahan, dalam arti bahwa semakin tinggi pengetahuan maka tingkat kecemasan semakin ringan.
            Jadi saya dapat menyimpulkan bahwa hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki hubungan yang sedang dan signifikan.
            Jadi dalam praktik keperawatan Dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada anggota keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa, hendaknya perawat memperhatikan masalah pengetahuan keluarga dalam merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa dengan memberikan pendidikan kesehatan yang dapat dimengerti oleh keluarga, Perawat juga diharapkan perlu mengkaji secara komprehensif faktor–faktor dominan yang mendukung timbulnya kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
            Dari segi pendidikan keperawatan diharapkan adanya peningkatan dan pengembangan asuhan keperawatan dalam pemberian pendidikan kesehatan khususnya dalam Keperawatan Jiwa dan Keperawatan Komunitas
      Dari segi penelitian keperawatan saya harapkan untuk penelitian selanjutnya diperoleh nilai reliabilitas instrumen yang tinggi.
BAB III
PENUTUP

3.1 SIMPULAN
Dapat di simpulkan bahwa dalam keperawatan jiwa terdapat trend dan issue keperawatan jiwa yang semakin berkembang di masyarakat maka seperti penyakit HIV,NAPZA,dan masalah ekonomi dan rumah tangga dan di sinilah tugas perawat mencegah terjadinya seperti bunuh diri,stress,maka perawat perlu member pendidikan kesehatan dan pengarahan lainnya.
3.2 SARAN
Seluruh perawat agar meningkatkan pemahamannya terhadap berbagai trend dan isu keperawatan jiwa di Indonesia sehingga dapat dikembeangkan dalam tatanan layanan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA


Yosep Iyus, S.Kp, M.Si. 2009. Keperawatan Jiwa,Edisi Revisi.Bandung. PT. Refika Aditama.

Effendy. (1998). Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. (edisi 2).Jakarta: EGC.

Friedman. (1998). Keperawatan Keluarga,Teori dan Praktek Edisi 3. Jakarta: EGC.

Frisch & Frisch. (2002). Psychiatric Mental Health Nursing. (2nd ed). New York:n Thomson Learning, Inc.


           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar